Rabu, 24 Februari 2016

Mahasiswa UGM Ciptakan Alat Perigatan Batas Laut Untuk Nelayan

Salah satu penyebab nelayan kita memasuki wilayah laut negara tetangga adalah ketiadaan informasi batas wilayah. Di laut, memang sulit mengetahui perbatasan wilayah antar negara secara akurat, karena batas bersifat imajiner alias maya. Akibatnya, banyak terjadi kasus pelanggaran perbatasan oleh Nelayan.

Mahasiswa UGM Ciptakan Alat Perigatan Batas Laut Untuk Nelayan.jpg

I Made Sapta Hadi (Sapta), Mahasiswa Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) menemukan ide membuat perangkat yahg mampu memberi peringatan jika kapal sudah dekat garis perbatasan. Gagasan Sapta adalah nelayan perlu dibekali perangkat yang dapat memberi ‘warning’ terhadap potensi pelanggaran batas maritim.

Untuk merealisasikan ide tersebut, Sapta mengajak Bagas Lail Ramadhan dari Jurusan Teknik Geodesi serta Imaddudin A Majid dari Jurusan Teknik Elektro. Ketiganya bekerja sejak Agustus hingga selesai pada November 2015 di bawah bimbingan I Made Andi Arsana, Dosen Jurusan Geodesi UGM.

Perangkat temuan ketiga mahasiswa ini diberi nama Swates. Dalam bahasa Jawa berarti suwanten wates, yang berarti suara perbatasan. Komponen utama Swates terdiri dari alarm dan global positioning system (GPS). Sapta cs menggunakan pemograman bahasa C untuk mengkoneksikan GPS dan Alarm.


Informasi koordinat dari GPS dibaca dan diolah oleh program, output dialirkan ke Alarm. Secara praktis, misalnya, Alarm akan berbunyi pada posisi tertentu sebelum melawati batas maritim. Pengguna bisa mengatur sendiri offset-nya, yaitu jarak tertentu terhadap garis perbatasan. Adapun informasi batas maritim (sebagai baseline) menggunakan titik koordinat batas maritim sesuai dokumen resmi perjanjian perbatasan Indonesia dengan negara tetangga.

Karena menggunakan GPS, Swates dapat digunakan di seluruh wilayah, terutama di laut. Koneksi GPS dengan sinyal satelit selalu bagus selama tidak terhalang oleh objek material, seperti pohon dan gedung. Swates memiliki dimensi 15 x 15 x 8 sentimeter, sehingga mudah dibawa. Untuk sumber daya, cukup menggunakan adaptor atau aki. Biaya pembuatan Swates masih tergolong tinggi, yaitu sekitar Rp500 ribu rupiah. Namun menurut Sapta, biaya tersebut masih dapat ditekan jika diproduksi secara massal. Sapta optimis harga jual Swates dapat terjangkau nelayan.

Berkat keorisinal gagasan dan kemanfaatannya, Swates meraih juara I Lomba Geospasial Inovatif Nasional 2015 di Fakultas Teknik UGM pada November 2015 lalu.

Pembimbing Sapta dan kawan-kawan sekaligus dosen Jurusan Teknik Geodesi UGM, Dr I Made Andi Arsana, sangat terkesan dan bangga dengan karya anak didiknya tersebut.

“Kekuatan penelitian ini ialah pada orisinalitas gagasan yang bersifat aplikatif dengan menggunakan pendekatan dan prinsip ilmu dan teknologi dasar yang cukup sederhana,” kata pria yang juga pengamat perbatasan dan kemaritiman UGM

Menurut Made Andi, melalui inovasi dan gagasan orisinil, pemanfaatan teknologi yang sederhana dapat memberikan manfaat yang nyata, terutama bagi para nelayan agar terhindar dari pelanggaran batas maritim. Meski begitu, Swates yang masih purwarupa ini tentu masih memerlukan penyempurnaan di beberapa bagian, terutama pada kemasannya. Selain itu, perlu ada proses perancangan produk menghasilkan produk yang sesuai dengan kaidah produksi dan tetap tepat guna.

Sebenarnya saat ini telah banyak perangkat GPS atau telepon cerdas dengan fitur penentuan posisi berbasis satelit yang bisa digunakan untuk mengetahui batas wilayah. Namun, harga alat tersebut cukup mahal bagi nelayan. Akhirnya, nelayan tradisional hanya mengandalkan pada pengetahuan astronomi tradisional, yaitu pengamatan bintang yang akurasinya rendah.

“Selain dukungan perangkat seperti Swates, peran aparat keamanan laut tetap diperlukan untuk membantu nelayan memahami batas wilayah. Pengetahuan dasar hukum laut, kedaulatan dan hak berdaulat harus diberikan kepada para nelayan,” pungkasnya. (JMOL)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar