Kamis, 05 Mei 2016

Thorium Bisa Menerangi Indonesia Selama 1.000 Tahun Kedepan

Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin mengatakan pentingnya pengembangan sumber energi baru untuk memenuhi pasokan energi bagi industri dalam negeri. Salah satunya adalah pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) berbasis thorium.

Menurut Saleh, tenaga nuklir memiliki potensi menjadi salah satu penyuplai energi listrik di Indonesia, apalagi sumber bahan baku thorium di Indonesia sangat berlimpah, terutama di Bangka Belitung, Kepulauan Riau.


Thorium Bisa Menerangi Indonesia 1.000 Tahun Kedepan

“Sumber bahan baku thorium melimpah di Bangka Belitung. Ini sangat diperlukan, mengingat ke depan kebutuhan energi untuk industri sangat besar dan tentu dengan harga yang kompetitif,” ujarnya di Jakarta, Kamis (5/5/2016).

Kalkulasi yang ada, bahan baku thorium di Bangka Belitung diperkirakan mencapai 170 ribu ton. Dengan perhitungan 1 ton thorium mampu memproduksi 1.000 megawatt (MW) per tahun, maka jumlah bahan baku tersebut bisa mengoperasikan 170 unit pembangkit listrik selama 1.000 tahun.


Dari sisi total biaya produksi, PLTN thorium juga lebih murah karena biayanya hanya USD3 sen per kWh. Sedangkan menggunakan batu bara harganya USD5,6 sen per kWh, gas USD4,8 sen per kWh, tenaga bayu USD18,4 sen per kWh, dan tenaga surya USD23,5 sen per kWh.

Sementara itu, anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Tumiran mendukung usulan tersebut. Menurut dia, penyediaan energi untuk industri sangat mutlak bagi kelangsungan perekonomian, lapangan kerja, dan kemandirian ekonomi.

“Teknologi penyediaan energi terus berkembang dan kita dapat memanfaatkannya sesuai peta potensi energi nasional, termasuk teknologi reaktor yang generasi kini sudah jauh berbeda dengan generasi sebelumnya. PLTN thorium dapat menyediakan kebutuhan energi yang semakin meninggi," kata dia.

Pria yang juga Dekan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada ini menambahkan, pemanfaatan thorium termasuk diversifikasi energi. Sejalan dengan aktivitas industri yang banyak menyerap investasi dan sumber daya mineral. (Sindo)

Rabu, 04 Mei 2016

Pesawat Tenaga Surya "Solar Impulse 2" sukses terbang 16 jam nonstop

Pesawat bertenaga surya Solar Impulse 2, yang sedang dalam perjalanan bersejarah mengelilingi dunia, menyelesaikan putaran kesepuluh penerbangannya, mendarat di Arizona setelah terbang hampir 16 jam dari California pada Selasa (3/5).

Pesawat Tenaga Surya Solar Impulse 2 sukses terbang 16 jam nonstop.jpg

Pesawat eksperimental kurus berkursi tunggal itu tiba Phoenix pukul 20.55 waktu setempat setelah menempuh jarak 1.113 kilometer selama total 15 jam dan 55 menit dari San Francisco melewati Gurun Mojave menurut laman proyek Solar Impulse.

Dengan pesawat biasa jarak itu bisa ditempuh dalam dua jam, tapi Solar Impulse 2 yang hanya mengandalkan energi dari surya membutuhkan waktu jauh lebih lama karena menerbanginya dengan kecepatan seperti mobil, membuat pilotnya sampai harus latihan meditasi dan hipnosis agar bisa tetap terjaga dalam waktu lama.


Salah satu pendiri proyek, Andre Borschberg, mengendarai pesawat itu di kokpitnya yang sangat kecil.

"Saya berhasil mencapai Phoenix, penerbangan yang menakjubkan melewati Gurun Mojave," kata Borschberg di Twitter.

Seperti dilansir kantor berita Reuters, dia dan rekan pilotnya Bertrand Piccard bergantian mengemudikan pesawat itu pada setiap segmen perjalanan yang diharapkan bisa menjadi penerbangan keliling dunia pesawat bertenaga surya pertama.

Sebelumnya Borschberg memiloti pesawat itu dalam penerbangan dari Jepang ke Hawaii melalui Pasifik bulan Juli tahun lalu, berada di udara selama hampir 118 jam.

Penerbangan itu memecahkan rekor terbang solo nonstop selama 76 jam yang dicetak tahun 2006 oleh petualang Amerika Steve Fossett dengan Virgin Atlantic Global Flyer serta mencetak rekor baru lama dan jarak terbang pesawat bertenaga surya.

Tim Swiss yang menerbangkan pesawat itu untuk menggalang dukungan bagi teknologi energi bersih berharap bisa mengakhiri perjalanan keliling dunianya di Abu Dhabi, tempat perjalanan dimulai pada Maret 2015. (Antara)

Senin, 25 April 2016

Eelume Robot Ular Air Pertama di Dunia

Dari hari ke hari makin banyak perusahaan teknologi yang mengembangkan robot mirip hewan. Bila sebelumnya ada Spot, robot hewan mirip anjing buatan Google, kini ada robot hewan lain bernama Eelume.

Eelume Robot Ular Air Pertama di Dunia

Eelume adalah robot ular buatan perusahaan Statoil, Kongsberg Maritime, dan Norwegian University of Science and Technology (NTNU). Menurut Pal Liljeback, ketua tim pengembang Eelume, robot ini adalah usaha pertama mereka membawa robot ular ke dunia industri.

Eelume mempunyai teknologi spesial yang membuatnya dapat berenang sendiri. Tubuh penuh 'ruas'nya membuat Eelume dapat berenang di air layaknya ular laut, bahkan dari jauh banyak yang menyangka Eelume adalah ular asli.


Meski masih tahap produksi dan belum dijual untuk umum, pengembang Eelume yakin robot ular ini dapat membantu banyak industri merawat atau memperbaiki alat-alat khusus di perairan, misalnya kabel bawah air.

"Eelume dapat dipasang secara permanen di dasar air dan melakukan inspeksi dan perawatan terjadwal pada komponen tertentu," ujar Kongsberg.

Berkat fungsinya ini, Eelume diprediksi dapat mengurangi biaya tinggi yang harus dikeluarkan untuk perawatan teknologi bawah air, yang tentu jauh lebih sulit dibanding yang ada di daratan. (Merdeka)

Senin, 07 Maret 2016

Titik Pengamatan LAPAN dan NASA Tergusur Festival Gerhana

Lokasi pengamatan korona para peneliti Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) dan The National Aeronautics and Space Administration (NASA) di dermaga Maba "tergusur" oleh Festival Gerhana Matahari Total (GMT) 2016.

Pelajar mengamati matahari dengan teropong di Surabaya, Jawa Timur, Senin (7/3). (ANTARA/Didik Suhartono)
Pelajar mengamati matahari dengan teropong di Surabaya, Jawa Timur, Senin (7/3). (ANTARA/Didik Suhartono)

"Aktivitas kami hari ini mempersiapkan titik pengamatan gerhana. Sebelumnya memang kami rencanakan di salah satu dermaga Maba yang sudah tidak terpakai lagi, tapi ternyata informasi terakhir mau dipakai masyarakat untuk menggelar festival gerhana," kata peneliti Pusat Sains Antariksa LAPAN Emanuel Sungging saat ditemui di Alun-alun Kota Maba, Maluku Utara, Senin.

Akhirnya, ia mengatakan diputuskan aktivitas pengamatan GMT oleh LAPAN dan NASA dipindah ke Alun-alun Jiko Mobon.

"Ya sudah tidak apa-apa kalau masyarakat memang mau menggunakan lokasi itu. Sebelumnya memang kami tidak dapat informasi bahwa akan ada festival gerhana di lokasi itu," ujar Sungging.


Menurut dia, kelebihan lokasi pengamatan baru tersebut berada di tengah kota sehingga tidak sulit membawa semua peralatan untuk pengamatan. Namun, yang menjadi kekhawatiran adalah masyarakat yang berkerumun menyaksikan kegiatan pengamatan.

"Semoga saja tidak mengganggu (jalannya pengamatan). Nanti akan ada dari tim kami akan mencoba mengalihkan perhatian masyarakat untuk melihat gerhananya bukan aktivitas penelitiannya," ujar dia.

Dari segi kebutuhan penelitian, menurut Sungging, lokasi yang baru yang berada alun-alun tersebut cukup baik karena matahari dapat teramati 45 derajat. "Itu sudah cukup tinggi".

Berdasarkan pantauan Antara, titik pengamatan GMT LAPAN dan NASA di alun-alun Jiko Mobon sangat terbuka dan mudah diakses masyarakat. Lokasi pengamatan seluas sekitar 10x8 meter persegi (m2) hanya diberi batas tali rafia berwarna merah.

Tampak masyarakat Maba, terutama anak-anak begitu antusias melihat persiapan titik pengamatan oleh para peneliti dari badan antariksa Indonesia dan Amerika Serikat (AS) tersebut hingga berdiri begitu dekat dengan batas tali rafia.

Menurut Sungging, totalitas GMT di Maba diperkirakan terjadi sekitar pukul 09.50 WIT, dan lamanya mencapai tiga menit dan 17 detik. (CNN)

Rabu, 24 Februari 2016

Mahasiswa UGM Ciptakan Alat Perigatan Batas Laut Untuk Nelayan

Salah satu penyebab nelayan kita memasuki wilayah laut negara tetangga adalah ketiadaan informasi batas wilayah. Di laut, memang sulit mengetahui perbatasan wilayah antar negara secara akurat, karena batas bersifat imajiner alias maya. Akibatnya, banyak terjadi kasus pelanggaran perbatasan oleh Nelayan.

Mahasiswa UGM Ciptakan Alat Perigatan Batas Laut Untuk Nelayan.jpg

I Made Sapta Hadi (Sapta), Mahasiswa Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) menemukan ide membuat perangkat yahg mampu memberi peringatan jika kapal sudah dekat garis perbatasan. Gagasan Sapta adalah nelayan perlu dibekali perangkat yang dapat memberi ‘warning’ terhadap potensi pelanggaran batas maritim.

Untuk merealisasikan ide tersebut, Sapta mengajak Bagas Lail Ramadhan dari Jurusan Teknik Geodesi serta Imaddudin A Majid dari Jurusan Teknik Elektro. Ketiganya bekerja sejak Agustus hingga selesai pada November 2015 di bawah bimbingan I Made Andi Arsana, Dosen Jurusan Geodesi UGM.

Perangkat temuan ketiga mahasiswa ini diberi nama Swates. Dalam bahasa Jawa berarti suwanten wates, yang berarti suara perbatasan. Komponen utama Swates terdiri dari alarm dan global positioning system (GPS). Sapta cs menggunakan pemograman bahasa C untuk mengkoneksikan GPS dan Alarm.


Informasi koordinat dari GPS dibaca dan diolah oleh program, output dialirkan ke Alarm. Secara praktis, misalnya, Alarm akan berbunyi pada posisi tertentu sebelum melawati batas maritim. Pengguna bisa mengatur sendiri offset-nya, yaitu jarak tertentu terhadap garis perbatasan. Adapun informasi batas maritim (sebagai baseline) menggunakan titik koordinat batas maritim sesuai dokumen resmi perjanjian perbatasan Indonesia dengan negara tetangga.

Karena menggunakan GPS, Swates dapat digunakan di seluruh wilayah, terutama di laut. Koneksi GPS dengan sinyal satelit selalu bagus selama tidak terhalang oleh objek material, seperti pohon dan gedung. Swates memiliki dimensi 15 x 15 x 8 sentimeter, sehingga mudah dibawa. Untuk sumber daya, cukup menggunakan adaptor atau aki. Biaya pembuatan Swates masih tergolong tinggi, yaitu sekitar Rp500 ribu rupiah. Namun menurut Sapta, biaya tersebut masih dapat ditekan jika diproduksi secara massal. Sapta optimis harga jual Swates dapat terjangkau nelayan.

Berkat keorisinal gagasan dan kemanfaatannya, Swates meraih juara I Lomba Geospasial Inovatif Nasional 2015 di Fakultas Teknik UGM pada November 2015 lalu.

Pembimbing Sapta dan kawan-kawan sekaligus dosen Jurusan Teknik Geodesi UGM, Dr I Made Andi Arsana, sangat terkesan dan bangga dengan karya anak didiknya tersebut.

“Kekuatan penelitian ini ialah pada orisinalitas gagasan yang bersifat aplikatif dengan menggunakan pendekatan dan prinsip ilmu dan teknologi dasar yang cukup sederhana,” kata pria yang juga pengamat perbatasan dan kemaritiman UGM

Menurut Made Andi, melalui inovasi dan gagasan orisinil, pemanfaatan teknologi yang sederhana dapat memberikan manfaat yang nyata, terutama bagi para nelayan agar terhindar dari pelanggaran batas maritim. Meski begitu, Swates yang masih purwarupa ini tentu masih memerlukan penyempurnaan di beberapa bagian, terutama pada kemasannya. Selain itu, perlu ada proses perancangan produk menghasilkan produk yang sesuai dengan kaidah produksi dan tetap tepat guna.

Sebenarnya saat ini telah banyak perangkat GPS atau telepon cerdas dengan fitur penentuan posisi berbasis satelit yang bisa digunakan untuk mengetahui batas wilayah. Namun, harga alat tersebut cukup mahal bagi nelayan. Akhirnya, nelayan tradisional hanya mengandalkan pada pengetahuan astronomi tradisional, yaitu pengamatan bintang yang akurasinya rendah.

“Selain dukungan perangkat seperti Swates, peran aparat keamanan laut tetap diperlukan untuk membantu nelayan memahami batas wilayah. Pengetahuan dasar hukum laut, kedaulatan dan hak berdaulat harus diberikan kepada para nelayan,” pungkasnya. (JMOL)

Selasa, 02 Februari 2016

Mahasiswa ITS ciptakan robot tank untuk TNI AD

Mahasiswa Institut Teknologi 10 November (ITS), Bachtiar Dumais Laksana (23) rupanya tak mau tinggal diam jika Indonesia tertinggal di bidang teknologi, utamanya pertahanan dan keamanan. Atas alasan itu pula, bersama Adhitya Whisnu Pratama dan Muhammad Iqbal membuat kendaraan taktis mini tanpa awak pertama.

Tank robot yang dikendalikan lewat remote control ini dirancang, dirakit dan diproduksi sendiri oleh ketiganya. Produk tersebut belum diproduksi massal, masih berupa purwarupa. Tank ini diberi nama War-V1.

Tank robot War-V1 BDL-Tech
Tank robot War-V1
Untuk mendukung aktivitasnya, mereka mendirikan perusahaan sendiri yang diberi nama BDL-Tech. Produknya tersebut sudah dilirik oleh Kodam Kodam VI/Mulawarman di Balikpapan, serta Batalyon Kavaleri 8 Divisi Infantri 2 Kostrad di Bandung.

"Saya sendiri direkturnya, bertiga, pengerjaan sudah makan waktu setahun lebih, kira-kira 13 bulan. Lengkap dengan desain, mekanik, rancang kendali elektronis. Kami memang kebetulan dari awal mau menyusun perusahaan yang bergerak di bidang hankam dan pendidikan," beber Bachtiar saat berbincang dengan merdeka.com, Senin (1/2) kemarin.



Pembuatan tank robot tersebut bermula dari hobi ketiganya di dunia militer, dengan latar belakang sebagai lulusan elektro sejak SMK, mereka mulai mencoba merealisasikan mimpinya. Desain dan model tank buatannya tersebut berasal dari robot yang digunakan oleh militer Jepang.

Tank robot War-V1 BDL-Tech

"Kemudian kami coba, itungannya nekat. Saya tanya ke Batalion Kavaleri sampai Kodam, yang berikan tanggapan positif Kodam Mulawarman dan Batalion Kavaleri 8. Jadi kemudian dengan konsep yang ada, kendaraannya saya sendiri inginnya berfungsi sebagai back up, di lapangan sebagai sweeper atau penyapu, setelah infantri masuk mampu di back up unit ini. Makanya mulai dari senjata sistem kami sesuaikan dengan tujuan aplikasi," terangnya.

Dalam proses pembuatannya, Bachtiar dan kedua rekannya belum mendapatkan bantuan dana dari pihak manapun, termasuk pemerintah. Alhasil pembelian komponen dan alat pendukung lainnya masih menggunakan modal pribadi.

"Ini masih modal pribadi, saya sendiri masih ikut orangtua, belum lulus dari kampus. Termasuk pendirian CV dan segala macam," lanjut dia.

Tank robot War-V1 BDL-Tech

Karena masih menggunakan dana sendiri, mereka sempat kesulitan untuk memasang komponen yang lebih memadai. Sebab, seluruh komponen yang diperlukan harus didatangkan dari China dengan harga belasan juta rupiah, itu pun belum termasuk bea impor.

"Kami disiplin elektro semua di bidang mekanik bergerak, kami belajar otodidak, makanya waktu desain belajar dari nol. Jadi masih gambar tangan mulai dari 2014," kenang dia.

Meski begitu, bachtiar mengungkapkan udah ada beberapa pihak yang mau mensponsori tank buatannya. Tank ini juga akan menjadi bekal untuk menyelesaikan skripsi.

"Ini ada beberapa bagian saya ikutkan untuk judul skripsi, kalau lolos Kemenhan rencananya ada pengucuran dana, dari menhan mungkin turunnya ke dikti," pungkasnya. (Merdeka)

Jumat, 22 Januari 2016

Mahasiswa Indonesia Berhasil Kembangkan Kursi Roda Digerakan Sinyal Otak [ video ]

Alat yang digerakkan dengan sinyal otak bukan khayalan. Dua mahasiswa Universitas Bina Nusantara (Binus) ini mengembangkan kursi roda yang digerakkan sinyal otak.

Adalah Jennifer Santoso (21) dan Ivan Halim Parmonangan (21), mahasiswa Semester 7 Teknik Informatika yang membuat proyek skripsi karena melihat banyak sekitarnya membutuhkan kursi roda.



2 Mahasiswa Indonesia Berhasil Kembangkan Kursi Roda Digerakkan Sinyal Otak

"Banyak yang tangannya patah, cacat seluruh tubuh, lumpuh dari leher ke bawah. Kami ingin membuat sistem yang menolong orang lain," tutur Jennifer kala ditemui di Binus Kampus Jalan KH Syahdan, Palmerah, Jakarta Barat, Jumat (22/1/2016).

Dari observasi penyandang disabilitas di sekitar mereka, ternyata, banyak disabilitas itu otak dan pikirannya masih sehat. Sehingga, Jennifer dan Ivan mengembangkan kursi roda dengan kendali otak. Penelitian ini sebenarnya melanjutkan dan mengembangkan penelitian kakak kelas mereka.


Maka, komponen-komponen utamanya adalah kursi roda dan alat bernama neuroheadset. Neuroheadset adalah alat yang bisa menangkap gelombang listrik otak dan memperkuatnya dalam skala ribuan kali. Neuroheadset ini terhubung ke aplikasi software yang mereka buat di dalam CPU.

"Aplikasi kami akan mengolah sinyal yang diterima dari neuroheadset, lalu difilter untuk mengambil gelombang alfa dan beta, yang kemudian ditransformasi dengan algoritma Fast Fourier Transformation, yang kemudian jadi input untuk mesin," jelas Jennifer.

Aplikasi yang dibuatnya kemudian akan meneruskan sinyal yang sedang diproses ke Arduino Uno yakni papan mikrokontroler, dan diteruskan ke motor driver yang akan digunakan untuk menggerakkan kedua motor DC, motor listrik yang bekerja menggunakan sumber tegangan DC.

Cara kerja kursi roda ini memakai 2 data, dengan electric encephalo graphi (EEG) alias sinyal otak untuk disabilitas yang lehernya tidak bisa bergerak dan dengan gyroskop untuk menangkap sensor gerak, bagi penderita yang masih bisa menggerakkan leher.

Penampakan kursi roda itu,berkelindan kabel-kabel di sebelah kiri yangterhubungkekotakmetalberisimikrokontrolerdanmotordriver, serta ada accu yang diwadahi kotak metal di bawahnya.

Ivan lantas memperagakan kursi roda itu. Dia duduk di atas kursi roda,memakaiwirelessneuroheadset dengan 14 tangkai di yang melingkar di kepala,danmemangkulaptop . Untuk pengguna pertama, aplikasi software harus merekam respon pengguna, sinyal otak untuk bergerak maju, kiri, kanan, memutar kekiridankanandarineuroheadset.

Kemudian, untuk menggerakkan kursi roda, Ivan terlihat fokus sekali. Roda-roda kursi itu bergerak maju, sementara Ivan hanya berpangku tangan. Bila ingin menghentikan kursi roda, cukup dengan kedipan mata, mata kiri, kanan atau kedua mata.

"Apabila tertidur atau panik, kursi roda itu otomatis stop," jelas Jennifer.

Alat dan aplikasi yang mereka namakan Bina Nusantara Wheelchair (BNW)-Kursi Roda dengan Kendali Otak ini mereka kembangkan sejak Februari-Oktober 2015 lalu.

"Yang lama adalah kami mencari cara bagaimana membuat aplikasi ini mudah digunakan untuk pengguna," tutur Jennifer.

Karya mereka meraih juara 2 dalam lomba Pagelaran Mahasiswa Nasional bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (Gemastik) 2015 kategori sistem cerdas. Riset ini juga mengantarkan dosen pembimbing skripsi mereka, Dr Widodo Budiharto, SSi, MKom masuk 15 besar Dosen Berprestasi Nasional. Penelitian ini dibiayai oleh Toray Research Grand dari Jepang.


EEG dan Neuroheadset Teknologi Kunci Pengerak Kursi Roda dengan Sinyal Otak

 Electric encephalo graphi (EEG) dan neuroheadset menjadi kuncinya.

"Soal pembacaan pikiran, secara teoritis, otak kita itu memancarkan sinyal, namanya EEG atau electro encephalo graph. Bagaimana sinyal itu tergantung dari apa yang kita pikirkan," demikian kata dosen Ilmu Komputer Universitas Binus, Dr Widodo Budiharto, SSi, MKom ditemui di kampusnya, Jl KH Syahdan, Palmerah, Jakarta Barat, Jumat (22/1/2016).



Widodo adalah dosen pembimbing skripsi 2 mahasiswa Binus yang mengembangkan kursi roda yang digerakkan sinyal otak, Jennifer Santoso (21) dan Ivan Halim Parmonangan (21).

Sinyal otak alias EEG ini, menurutnya berupa gelombang listrik sebesar 1 mikro Volt atau kurang, yang memancar dari kulit kepala. Besaran sinyal otak itu, tergantung dari tipe kulit dan ketebalan rambut. Untuk menangkap EEG ini, maka dibutuhkan sensor EEG.
Electric encephalo graphi (EEG) dan neuroheadset menjadi kuncinya.

"Soal pembacaan pikiran, secara teoritis, otak kita itu memancarkan sinyal, namanya EEG atau electro encephalo graph. Bagaimana sinyal itu tergantung dari apa yang kita pikirkan," demikian kata dosen Ilmu Komputer Universitas Binus, Dr Widodo Budiharto, SSi, MKom ditemui di kampusnya, Jl KH Syahdan, Palmerah, Jakarta Barat, Jumat (22/1/2016).

Widodo adalah dosen pembimbing skripsi 2 mahasiswa Binus yang mengembangkan kursi roda yang digerakkan sinyal otak, Jennifer Santoso (21) dan Ivan Halim Parmonangan (21).

Sinyal otak alias EEG ini, menurutnya berupa gelombang listrik sebesar 1 mikro Volt atau kurang, yang memancar dari kulit kepala. Besaran sinyal otak itu, tergantung dari tipe kulit dan ketebalan rambut. Untuk menangkap EEG ini, maka dibutuhkan sensor EEG.

"Dalam aplikasinya, bisa kita terapkan pada berbagai aplikasi, seperti game, atau menggerakkan kursi roda yang maju-mundur. Sensor EEG ini membaca pikiran kita," jelas Widodo.

Nah, dalam pengembangan kursi roda Bina Nusantara Wheelcair (BNW) - Kursi Roda dengan Kendali Otak, sensor EEG yang dipakai bernama "neuroheadset". Widodo membeli neuroheadset ini untuk kepentingan riset anak didiknya, bermerek Emotiv Epoc buatan Australia. Harganya, sekitar Rp1,5 juta.

"Neuroheadset ini fungsinya menguatkan sinyal otak dalam orde ribuan kali," imbuh dia.

Sinyak otak 1 mikro Volt atau kurang ini, jelas tak bisa menggerakkan benda. Sinyal ini harus diperbesar menjadi sampai 100 ribu kali, hingga sekitar 5 volt. Nah sinyal yang sudah kuat ini kemudian menjadi input data dalam aplikasi software untuk diklasifikasikan hingga menggerakkan motor.

Ilmu EEG dan neuroheadset ini sebenarnya bukan hal baru. Widodo mengatakan, sejak tahun 1929, seorang ilmuwan sudah berhasil menunjukkan gambaran EEG seorang anak yang dipublikasikan secara ilmiah. Begitupun neuroheadset, alat ini juga bisa dibuat sendiri.

"Alat ini (neuroheadset) sebenarnya gampang dibuat, tidak mahal dan teknologi lama. Kalau buat sendiri paling habis Rp 500 ribu," jelas dia.

Namun, mengapa dirinya tak membuat secara manual, tantangannya adalah pada noise alias sinyal-sinyal otak yang 'berisik'. Alat buatan sendiri, keberisikannya sangat besar dan belum bisa melakukan filter sinyal otak mana yang penting dan dibutuhkan. Neuroheadset ini, imbuhnya, juga belum ada yang diproduksi di Indonesia karena tantangan kesulitan mengurangi 'berisik' itu tadi.

"Kalau perangkat ini kita buat, maka wasting time dan hasilnya tidak optimal," jelas dia.


 (Detik)

Berikut video peragaan kursi roda BNW ini yang diunggah Jennifer di Youtube:




Selasa, 05 Januari 2016

Kaka Beradik Asal Salatiga Lusuan SMK Kalahkan Doktor Ahli di Kompetisi Desain Komponen Jet Dunia


Kakak beradik, Arfian Fuadi (29) dan M Arie Kurniawan (24), memang cuma lulusan SMK. Mereka belajar desain teknik secara otodidak. Siapa sangka, kemampuan itu ternyata membuatnya mendunia. Mereka mengalahkan doktor dan ahli di perusahaan penerbangan dalam kompetisi.

Dengan peralatan dan modal seadanya, Arfian dan Arie mendirikan perusahaan desain bernama DTECH-ENGINEERING pada tahun 2009. Mereka mencari peluang order melalui situs online. Order datang dari Jerman, lalu dari negara-negara lain.


Braket karya Arfian dan Arie

Pada tahun 2013, kenang Arfian, perusahaan besar General Electric (GE) asal Amerika mengadakan kompetisi Global Challenge untuk membuat desain bracket jet.

"Ada yang ikut hampir 700 orang dari berbagai negara. Adik saya, Arie ikut mengirimkan," ujar Arfian kepada detikcom di rumahnya, Canden, Tingkir, Salatiga, Senin (4/1/2016).





Desain Arfian dan Arie ternyata diminati. Mereka menang dengan menyisihkan peserta lainnya termasuk seorang doktor Swedia yang berpengalaman di Swedish Air Force dan lulusaan Oxford University yang bekerja di perusahaan Airbus.

"Si Arie ikut, kita bisa desain paling ringan dan kuat, bahan dari titanium. Mungkin ide kita waktu itu paling bagus," katanya rendah hati.


Kaka Beradik Asal Salatiga Lusuan SMK Kalahkan Doktor Ahli di Kompetisi Desain Komponen Jet Dunia

Prestasi mereka saat itu ternyata tidak terlalu menggemparkan dunia pendidikan di Indonesia. Meski demikian, Arfian bangga karena GE melalui Handry Satriago selaku CEO General Electric Indonesia memberikan apresiasi. Bahkan kini Handry sudah dianggap sebagai mentor bagi duo kakak beradik itu.



"Kita jadi kenal CEO dan mereka tidak jaim (jaga image) main ke sini, Salatiga. Pokoknya kami jadi mendapat banyak pengalaman. Pak Handry sudah jadi mentor bagi kami," ujarnya.

Kini, Arfian dan Arie memiliki kantor dan 'karyawan' berjumlah 7 orang. Enam di antaranya lulusan SMK. Puluhan order desain dari berbagai negara diterima setiap bulan.  (Detik)